Interpretasi Ulama Fikih Terhadap Dalil-dalil Pensyari’atan Wakaf
by: Moh. Hafidurrahma/STAI AL-KHAIRAT
Interpretasi ulama fikih terhadap dalil-dalil
pensyari’atan wakaf yang masih berbentuk umum tersebut sangat penting
diungkapkan dalam rangka melihat penalaran mereka dalam membangun wakaf menjadi
sebuah institusi tersendiri dengan spesifikasinya. Dalam hal ini dijelaskan
hasil ijtihad Abu Hanifah, Malik, As-Syafi'i, Ahmad bin Hambal, Daud Dhahiri,
Muhammad dan Abu Yusuf, karena hasil usaha pemikiran mereka dapat dijadikan
sebagai alternatif acuan dalam perwakafan.
Wakaf menurut para imam mazhab merupakan
suatu perbuatan sunnat untuk tujuan kebaikan, seperti membantu pembangunan
sektor keagamaan baik pembagunan di bidang material maupun spritual.
Sebagaimana halnya zakat, wakaf merupakan income dana umat Islam yang sangat
potensial bila dikembangkan. Sebagai contoh mesir yang telah berhasil memprogram
wakaf sejak seribu tahun yang lalu. Persoalan wakaf bagi ulama mazhab
disepakati sebagai amal jariah. Namun yang menjadi perbedaan mereka dan
pengikutnya adalah permasalahan pemahaman terhadap wakaf itu sendiri, apakah
harta wakaf yang telah diberikan si wakif masih menjadi miliknya atau berpindah
seketika saat ia menyerahkan kepada maukuf alaih.
Menurut pendapat Abu Hanifah, harta yang
telah diwakafkan tetap berada pada kekuasaan wakif dan boleh ditarik kembali
oleh oleh si wakif. Harta itu tidak berpindah hak milik, hanya manfaatnya saja
yang diperuntukan untuk tujuan wakaf. Dalam hal ini Imam Abu Hanifah memberikan
pengecualian pada tiga hal, yakni wakaf mesjid, wakaf yang ditentukan oleh
keputusan pengadilan dan wakaf wasiat. Selain tiga hal yang tersebut, yang
dilepaskan hanya manfaatnya saja bukan benda itu secara utuh. Terhadap wakaf
mesjid, yaitu apabila seseorang mewakafkan hartanya untuk kepentingan mesjid,
atau seseorang membuat pembangunan dan diwakafkan untuk mesjid, maka status
wakaf di dalam masalah ini berbeda. Karena seseorang berwakaf untuk mesjid,
sedangkan mesjid itu milik Allah, maka secara spontan mesjid itu berpindah
menjadi milik Allah dan tanggallah kekuasaan si wakif dalam kasus ini.
Wakaf yang ditentukan keputusan
pengadilan, yaitu apabila terjadi suatu sengketa tentang harta wakaf yang tak
dapat ditarik lagi oleh orang yang mewakafkannya atau ahli warisnya. Kalau
pengadilan memutuskan bahwa harta itu menjadi harta wakaf. Terangkatlah
khilafiyah setelah adanya putusan hakim.Wakaf wasiat, yaitu bila seseorang
dalam keadaan masih hidup membuat wasiat, jika ia meninggal dunia, maka harta
yang telah ditentukannya menjadi wakaf. Maka dalam contoh seperti ini
kedudukannya sama dengan wasiat, tidak boleh lebih dan 1/3 harta, sebagai harta
wasiat. Abu Hanifah berpendirian seperti itu dengan menggunakan dalil sebuah
hadis Rasulullah yang diriwayatkan oleh Dar al-Quthni dari Ibnu Abbas, “La
Habasa ‘an Faraidillah “ (tidak ada penahanan harta (habsa) dalam hal-hal yang
sudah ada ketentuan dan Allah).
Alasan kedua bagi Abu Hanifah sebagaimana
yang pernah diriwayatkan dari Hakim Suraih yang menyebutkan bahwa Nabi SAW.
pernah datang dengan menjual harta yang telah diwakafkan. Kalau Nabi SAW. saja
pernah berbuat dan menjual harta wakaf, kenapa kita tidak, kata Abu Hanifah.
Kalau begitu menahan asal harta (‘ain benda yang diwakafkan), bukan hal yang
disyariatkan.
Sesungguhnya yang dilarang untuk itu
adalah terhadap berhala dan patung. Terhadap dua inilah yang dilarang, kata Abu
Hanifah sambil menjelaskan bahwa Rasul pernah membatalkan wakaf untuk keperluan
patung dan berhala. Abu Hanifah menjelaskan, dengan diwakafkannya suatu harta
bukan berarti menjadi suatu keharusan untuk lepasnya pemilikan wakif, oleh
sebab itu bolehlah rujuk dan mengambil kembali wakaf itu, boleh pula
menjualnya, karena menurut Abu Hanifah, wakaf sama halnya dengan barang
pinjaman dan sebagaimana dalam soal pinjam meminjam, si pemilik tetap
memilikinya, boleh menjual dan memintanya kembali (seperti ‘ariyah). Argumentasi
lain yang dijadikan Abu Hanifah sebagai alasan bahwa harta wakaf yang telah
diwakafkan tetap menjadi milik wakif dengan menganalogikan dan menyamakannya
dengan sa‘ibah seperti yang terdapat dalam surat AI-Maidah ayat 103, dan ini sangat
dilarang Allah SWT. Kedua argumen Abu Hanifah bahwa wakaf sebagai aqad
tabarru’, yaitu transaksi dengan melepaskan hak, bukan berarti melepaskan hak
atas benda pokoknya, melainkan yang dilepaskan hanya hasil dan manfaat dari
benda yang diwakafkan itu.
Ada
suatu perbedaan dalam pandangan Imam Abu Hanifah dengan kedua orang muridnya
tentang wakaf. Secara harfiah wakaf berarti penahanan. Wakaf terdiri atas
pemberian atau pemberian harta kekayaan untuk selama-lamanya sehingga tidak ada
hak-hak pemilikan terhadap benda wakaf itu, tetapi hanya ada hak guna saja. Ini
merupakan suatu bentuk pemindahan yang mengalihkan harta kekayaan dan
pemilikkan orang yang menyerahkan tanpa ia alihkan menjadi milik manusia.
Menurut Imam Abu Hanifah yang menentang kesahihan transaksi-transaksi seperti itu,
wakaf menurutnya, “penahanan suatu benda tertentu di dalam pemilikan pemberi
wakaf dan penyerahan atau pendermaan keuntungan-keuntungan sebagai derma kepada
orang-orang miskin atau tujuan-tujuan lain yang baik, dengan cara pinjaman
barang”.
Adapun menurut mazhab Maliki, sebagaimana definisi wakaf yang disebutkan sebelumnya, harta yang diwakafkan itu menurut Malikiyah tetap menjadi milik si Wakif. Dalam hal ini sama dengan Abu Hanifah. Akan tetapi, Maliki menyatakan tidak diperbolehkan mentransasikannya atau men-tasarruf-kannya, baik dengan menjualnya, mewariskannya atau menghibahkannya selama harta itu diwakafkan.
Adapun menurut mazhab Maliki, sebagaimana definisi wakaf yang disebutkan sebelumnya, harta yang diwakafkan itu menurut Malikiyah tetap menjadi milik si Wakif. Dalam hal ini sama dengan Abu Hanifah. Akan tetapi, Maliki menyatakan tidak diperbolehkan mentransasikannya atau men-tasarruf-kannya, baik dengan menjualnya, mewariskannya atau menghibahkannya selama harta itu diwakafkan.
Menurutnya, boleh wakaf untuk waktu
tertentu, bukan sebagai syarat bagi Maliki selama-lamanya. Apabila habis jangka
waktu yang telah ditentukan, maka boleh mengambilnya lagi, walaupun benda itu
untuk mesjid. Wakaf menurut interpretasi Malikiyah, tidak terputus hak si wakif
terhadap benda yang diwakafkan. Yang terputus itu hanyalah dalam hal
bertasarruf. Malikiyah beralasan dengan hadis Ibnu Umar. Ketika Rasulullah
menyatakan, “jika kamu mau, tahanlah asalnya dan sedeqahkanlah hasilnya”. Dari
kalimat ini, menurut Maliki, adalah isyarat dari Rasul kepada umat untuk
mensedeqahkan hasilnya saja. Maliki menambahkan alasannya, apabila benda yang
diwakafkan keluar dari pemilikannya, tentu Nabi tidak menyatakan dengan
kata-kata, “tidak menjualnya, tidak mewariskan dan tidak menghibahkannya”
kepada Umar. Hadits itu seolah-olah menyatakan bahwa Umar tetap memiliki harta
itu, tapi dengan ketentuan tidak boleh di-tasarruf-kan.
Ulama Maliki juga tidak mensyaratkan
wakaf itu buat selama lamanya, karena tidak ada satu dalil pun yang
mengharuskan wakaf untuk selama-lamanya. Oleh sebab itu, boleh bagi Malikiyah
berwakaf sesuai dengan keinginan si wakif. Sementara menurut Imam al-Syafi’i,
harta yang diwakafkan terlepas dari si wakif menjadi milik Allah dan berarti
menahan harta untuk selama-lamanya. Karena itu tidak boleh wakaf yang
ditentukan jangka waktunya seperti yang dibolehkan Maliki. Maka disyaratkan
pula benda yang diwakafkan itu tahan lama, tidak cepat habisnya, seperti
makanan. Alasannya ialah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar tentang tanah
di Khaibar. Imam al-Syafi’i memahami tidakan Umar mensedeqahkan hartanya dengan
tidak menjual, mewariskan dan menghibahkan, juga sebagai hadis karena Nabi
melihat tindakan umar itu dan Rasulullah ketika itu hanya diam. Maka diamnya
Rasul dapat ditetapkan sebagai hadis taqriry, walaupun telah didahului oleh
hadis qauly.
Selanjutnya Ahmad bin Hanbal mengatakan
bahwa wakaf terjadi karena dua hal. Pertama, karena kebiasaan (perbuatan) bahwa
dia itu dapat dikatakan mewakafkan hartanya. Seperti seseorang mendirikan
mesjid, kemudian mengizinkan orang shalat di dalamnya secara spontanitas bahwa
ia telah mewakafkan hartanya itu menurut kebiasaan (‘urf). Walaupun secara
lisan ia tidak menyebutkannya, dapat dikatakan wakaf karena sudah kebiasaan.
Kedua, dengan lisan baik dengan jelas (sarih) atau tidak. Atau ia memakai
kata-kata habastu, wakaftu, sabaltu, tasadaqtu, abdadtu, harramtu. Bila
menggunakan kalimat seperti ini maka ia harus mengiringinya dengan niat wakaf.
Bila telah jelas seseorang mewakafkan hartanya, maka si wakif tidak mempunyai
kekuasaan bertindak atas benda itu dan juga menurut Hambali tidak bisa
menariknya kembali. Hambali menyatakan, benda yang diwakafkan itu harus benda
yang dapat dijual, walaupun setelah jadi wakaf tidak boleh dijual dan harus
benda yang kekal zatnya karena wakaf bukan untuk waktu tertentu, tapi buat
selama-lamanya.
B. Pengalihfungsian Harta Wakaf Menurut Para Ulama Fikih
Menukar dan mengganti benda wakaf, dalam
penalaran ulama, terdapat perbedaan antara benda wakaf yang berbentuk mesjid
dan bukan mesjid. Yang bukan mesjid dibedakan lagi menjadi benda bergerak dan
benda tidak bergerak. Terhadap benda wakaf yang berbetuk mesjid, selain Ibn
Taimiyyah dan sebagian Hanabalah sepakat menyatakan terlarang menjualnya.
Sementara terhadap benda wakaf yang tidak berupa mesjid, selain mazhab
Syafi'iyah membolehkan menukarnya, apabila tindakan demikian memang benar-benar
sangat diperlukan. Namun mereka berbeda dalam menentukan persyaratannya. Ulama
Hanafiyah membolehkan penukaran benda wakaf tersebut dalam tiga hal: 1) apabila
wakif memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika ikrar, 2) apabila
benda wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan, dan 3) jika kegunaan benda
pengganti wakaf itu lebih besar dan lebih bermanfaat.
Ulama Malikiyah juga menentukan tiga
syarat, yaitu: 1) wakif ketika ikrar mensyaratkan kebolehan ditukar atau
dijual, 2) benda wakaf itu berupa benda bergerak dan kondisinya tidak seusai
lagi dengan tujuan semula diwakafkan, 3) apabila benda wakaf pengganti
dibutuhkan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan mesjid, jalan raya dan
sebagainya.
Ulama Hanabilah lebih tegas lagi. Mereka tidak membedakan apakah benda wakaf itu berbetuk mesjid atau bukan mesjid. Ibn Taimiyah misalnya, mengatakan bahwa benda wakaf itu boleh ditukar atau dijual, apabila tindakan ini benar-benar sangat dibutuhkan. Misalnya suatu masjid yang tidak dapat lagi digunakan karena telah rusak atau terlalu sempit, dan tidak mungkin diperluas, atau karena penduduk suatu desa berpindah tempat, semetara di tempat yang baru mereka tidak mampu membangun mesjid yang baru.
Ulama Hanabilah lebih tegas lagi. Mereka tidak membedakan apakah benda wakaf itu berbetuk mesjid atau bukan mesjid. Ibn Taimiyah misalnya, mengatakan bahwa benda wakaf itu boleh ditukar atau dijual, apabila tindakan ini benar-benar sangat dibutuhkan. Misalnya suatu masjid yang tidak dapat lagi digunakan karena telah rusak atau terlalu sempit, dan tidak mungkin diperluas, atau karena penduduk suatu desa berpindah tempat, semetara di tempat yang baru mereka tidak mampu membangun mesjid yang baru.
Dasar pemikiran Ibn Taimiyah sangat
praktis dan rasional. Pertama, tindakan menukar atau menjual benda wakaf
tersebut sangat diperlukan. Lebih lanjut Ibn Taimiyah mengajukan contoh,
seseorang mewakafkan kuda untuk tentara yang sedang berjihad fi sabilillah,
setelah perang usai, kuda tersebut tidak diperlukan lagi. Dalam kondisi seperti
ini, kuda tersebut boleh dijual, dan hasilnya dibelikan sesuatu benda lain yang
lebih bermanfaat untuk diwakafkan. Kedua, karena kepentingan mashlahat yang
lebih besar, seperti masjid dan tanahnya yang dianggap kurang bermanfaat,
dijual untuk membangun mesjid baru yang lebih luas atau lebih baik.
Dalam hal ini mengacu kepada tindakan
Umar ibn al-Khaththab ketika ia memindahkan mesjid Kufah dari tempat yang lama
ke tempat yang baru. Usman kemudian melakukan tindakan yang sama terhadap
mesjid Nabawi. Lebih jauh Ibn Taimiyyah mengajukan argumentasi, bahwa tindakan
tersebut ditempuh adalah untuk menghindari kemungkinan timbulnya kerusakan atau
setidaknya penyia-nyiaan benda wakaf itu. Hal ini sejalan dengan kaidah:
درء المفاسد مقدم على جلـب المصالح
"Menghindari kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kemashlahatan"
"Menghindari kerusakan harus didahulukan daripada mengambil kemashlahatan"
Selain itu, untuk mempertahankan tujuan
hakiki disyariatkannya wakaf, yaitu untuk kepentingan orang banyak dan
kesinambungan. Namun persoalannya adalah bagaimana seandainya wakif tidak
memberi isyarat secara detail terhadap bolehnya benda wakaf tersebut ditukar
atau dijual manakala kondisiya sangat mendesak. Apabila tidak sedikit seorang
wakif mewakafkan hartanya karena pertimbangan tabarru' telah merasa cukup
dengan ikrar saja, tanpa dilengkapi dengan persyaratan administratif lainnya.
Golongan Hanabilah membolehkan menjual
mesjid apalagi benda wakaf lain selain mesjid, dan ditukar dengan benda lain
sebagai wakaf, apabila ditemui sebab-sebab yang membolehkan”. Umpamanya tikar
yang diwakafkan di mesjid, apabila telah usang atau tidak dapat dimanfaatkan
lagi, boleh dijual dan hasil penjualannya dibelikan lagi untuk kepentingan
bersama.
Sementara itu, golongan Syafi'iyah
menyatakan bahwa terlarang menjual dan menukarkan wakaf secara mutlak. Sehingga
walaupun wakaf itu termasuk wakaf khas seperti wakaf untuk keluarga, dan
walaupun dibolehkan oleh bermacam-macam sebab. Mereka membolehkan bagi si
penerima untuk menghabiskannya guna keperluan sendiri jika ditemui hal yang
membolehkan seperti pohon yang mulai mengering dan tidak ada lagi kemungkinan
untuk berbuah. Maka orang yang menerima wakaf boleh memanfaatkan guna kayu api,
tapi tidak boleh menjual dan menukarkannya. Ulama Syafi'iyah berdalil dengan hadis
yang diriwayatkan Ibnu Umar, “Harta wakaf tidak boleh dijual dihibahkan dan
diwariskan. Adapun ulama Maliki berpendapat bahwa harta wakaf tidak boleh
dijual dalam tiga keadaan: Pertama, orang yang mewakafkan mensyaratkan tidak
boleh menjual sewaktu ada perjanjian wakaf tersebut, lalu ia mengikuti syarat
itu. Kedua, benda yang diwakafkan itu termasuk jenis benda yang bergerak dan
tidak pantas bagi pihak si penerima wakaf Lalu benda wakaf itu dijual dan
harganya dibelikan pada hal yang seumpama dan sebanding dengannya. Ketiga,
tumbuh-tumbuhan yang dijual itu untuk kepentingan perluasan mesjid atau jalan
perkuburan dan pada hal-hal yang lainnya yang tidak boleh dijual. Kelompok
Hanafi membolehkan menjual dan menukar sekalian benda-benda wakaf khas dan ‘am
kecuali mesjid. Mereka membolehkan tersebut dengan tiga keadaan, yaitu:
Pertama, orang yang berwakaf mensyaratkan hal itu ketika berwakaf. Kedua, harta
wakaf itu tidak dapat dimanfaatkan lagi. Ketiga, pertukaran itu mendatangkan
manfaat yang lebih baik dan harga yang lebih mahal. Al-Mahalli mengatakan
bahwa, menurut pendapat yang lebih shahih dibolehkan menjual tikar mesjid yang
telah diwakafkan apabila tiang-tiang mesjid itu telah lapuk dan mesjid itu
telah rusak dan tidak mungkin lagi diperbaiki kecuali dengan membukanya, supaya
kehancuran tidak mengiringinya. Di antara kandungan hadis ini adalah benda yang
diwakafkan tidak boleh dijual selagi masih utuh seluruhnya. Akan tetapi apabila
secara umum tidak dapat dipakai lagi dan sebahagian masih utuh, boleh dijual
dan hasil penjualan itu dipergunakan kembali untuk memperbaiki mesjid tersebut.
Berdasarkan hal ini, maka dapat pula dipahami bahwa boleh menjual harta wakaf
apabila ada hal yang menghendakinya.
Ibnu Qudamah, salah seorang ulama dari mazhab Hanbali, dalam kitabnya al-Mughni berpendapat bahwa apabila harta wakaf menuju kebinasaan sehingga tidak dapat dimanfaatkan, maka harta wakaf itu dapat dijual, kemudian harga penjualan tersebut dibelikan kepada benda yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan wakaf yang pertama.
Ibnu Qudamah, salah seorang ulama dari mazhab Hanbali, dalam kitabnya al-Mughni berpendapat bahwa apabila harta wakaf menuju kebinasaan sehingga tidak dapat dimanfaatkan, maka harta wakaf itu dapat dijual, kemudian harga penjualan tersebut dibelikan kepada benda yang dapat dimanfaatkan sesuai dengan wakaf yang pertama.
BAB
III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Wakaf menurut
para imam mazhab merupakan suatu perbuatan sunnat untuk tujuan kebaikan,
seperti membantu pembangunan sektor keagamaan baik pembagunan di bidang
material maupun spritual. Sebagaimana halnya zakat, wakaf merupakan income dana
umat Islam yang sangat potensial bila dikembangkan. Sebagai contoh mesir yang
telah berhasil memprogram wakaf sejak seribu tahun yang lalu. Persoalan wakaf
bagi ulama mazhab disepakati sebagai amal jariah. Namun yang menjadi perbedaan
mereka dan pengikutnya adalah permasalahan pemahaman terhadap wakaf itu
sendiri, apakah harta wakaf yang telah diberikan si wakif masih menjadi
miliknya atau berpindah seketika saat ia menyerahkan kepada maukuf alaih.
Ulama Syafi'iyah
berdalil dengan hadis yang diriwayatkan Ibnu Umar, “Harta wakaf tidak boleh
dijual dihibahkan dan diwariskan
Terhadap benda
wakaf yang berbetuk mesjid, selain Ibn Taimiyyah dan sebagian Hanabalah sepakat
menyatakan terlarang menjualnya. Sementara terhadap benda wakaf yang tidak
berupa mesjid, selain mazhab Syafi'iyah membolehkan menukarnya,
Ulama Hanafiyah
membolehkan penukaran benda wakaf tersebut dalam tiga hal: 1) apabila wakif
memberi isyarat akan kebolehan menukar tersebut ketika ikrar, 2) apabila benda
wakaf itu tidak dapat lagi dipertahankan, dan 3) jika kegunaan benda pengganti
wakaf itu lebih besar dan lebih bermanfaat.
Kelompok Hanafi
membolehkan menjual dan menukar sekalian benda-benda wakaf khas dan ‘am kecuali
mesjid. Mereka membolehkan tersebut dengan tiga keadaan, yaitu: Pertama, orang
yang berwakaf mensyaratkan hal itu ketika berwakaf. Kedua, harta wakaf itu
tidak dapat dimanfaatkan lagi. Ketiga, pertukaran itu mendatangkan manfaat yang
lebih baik dan harga yang lebih mahal.
B.
SARAN
Dengan lahirnya UU No. 14 Tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, yang menyatakan
Peradilan Agama sebagai salah satu dari empat lingkungan peradilan di
Indonesia, masalah wakaf tetap menjadi salah satu kompetensi Peradilan Agama.
Sekalipun hukum materil belum ada tetapi pasal 14 undang-undang tersebut
menyatakan: "Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadili
suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak atau kurang jelas,
melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya". Selanjutnya dengan UU
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam pasal 49 ayat (1) dinyatakan
dengan jelas bahwa masalah wakaf dan sedekah adalah satu wewenang Peradilan
Agama. Berdasarkan praktek-praktek yang berjalan sebelumnya dan ditambah dengan
semangat kedua undang-undang ini, maka hakim Peradilan Agama memeriksa
perkara-perkara wakaf berdasarkan hukum fiqih yang beredar di Indonesia.
REFERENSI
- Wahbah al-Zuhaily, Fiqh al-Islamiy wa Adillatuhu, (Mesir: Dar al-Fikri, 1986), h. 153.
- Ahmad ibn Muhammad al-Dardiriy, Syarh al-Shagir 'ala Mukhtar Aqrab al-Masalik li Mazhab Imam Malik, (Mesir: Dar al-Tahrir wa al-Nasyr, 1968), jilid 4, h. 107.
- Muhammad Jawad al-Mugniyah, al-Ahwal al-Syakhsiyyah 'ala Mazahib al-Khamsah, (Beirut : Dar al-'Ilm al-Malayin, 1964), h. 333.
- Abd al-Rahman al-Asyimi, Majmu' al-Fatawa Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyyah, (T.Tp: T.pn, t.th): juz. 22, h. 100.
- Muhammad Jawad Mughniyah, al-ahwal al-syakhsiyah, h. 333