MAULID NABI; MEMBANGUN SEMANGAT SALAFIYAH, MENGAWAL PERKEMBANGAN IDEOLOGI
Oleh : Moh. Hafidurrahman
PP. Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan
Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam ketika haji Wada’, di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah kusampaikan pada kalian wahyu dari Allah…..?” Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “Benar ya Rasul!” Dari pidato yang disampaikan Nabi diatas, pada detik-detik akhir kehidupannya, sekilas mungkin itu hanya sebagai penyaksian para sahabat terhadap wahyu yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal yang paling urgen dalam pidato tersebut adalah penyaksian kita terhadap risalah yang telah dia sampaikan kepada kita berupa ajaran Agama Islam. Dalam rangka penyaksian tersebut tentunya apa bentuk manifestasi kita sebagai wujud pembenaran terhadap ketuntasan risalahnya. Dalam memanifestasikan penyaksian itu kita harus tetap berpijakan pada sebuah konsep " Al-muhafadzah 'ala qodimissholeh wa al-akhdzu bi al-jadidil Aslah" yang tentunya kita sebagai santri harus punya ghiroh yang tinggi untuk memperjuangkan semangat salafiyah sebagai ujung tombak tegaknya sendi-sendi ajaran Islam di negeri ini ditengah maraknya ideologi-ideologi modern yang terselubung begitu apik. Dalam mengawal perkembangan ideologi-ideologi tersebut yang akan terus berkembang, maka Santri musti mempersiapkan diri dengan memperbanyak ilmu pengetahuan, memperkuat mental dan aqidah, fisik, serta menciptakan karakter kepribadian yang kuat agar dapat menjaga eksistensi Islam sebagai agama Rohmatan Lil'alamin sehingga kemurnian agama Islam tetap terjaga seperti yang difirmankan Allah " kami telah turunkan Alqur'an dan sungguh kami akan menjaganya". Pidato Nabi tersebut adalah penegasan bahwa eksistensi, kemampuan, kiprah, dan peran umat Islam (santri) sangat menentukan masa depan Islam. Wajah Islam masa depan sebagian tergambar pada potret para Santri masa kini. Eksistensi Islam masa depan sangat tergantung pada kekuatan kolektif pundak para Santri untuk memanggulnya. Itulah posisi strategis Santri dalam arus sejarah bangsa. Jelas bahwa eksistensi Santri tidak hadir pada ruang yang kosong. Kiprah dan peran Santri adalah produk interaksi dengan realitas dan tantangan faktual yang dihadapi masyarakatnya. Karena itu, Santri harus melawan jeratan mitos-mitos kebesaran yang terselubung dalam ideology modern, bahwa perannya selalu penting, tinggi dan berada di puncak-puncak kejadian penting sejarah perjalanan bangsa. Santri harus secara sadar keluar dari sosok mitologis-ideologi itu. Mengetahui sejarah perjuangan para Sahabat memang penting. Bangga kepada masa silam adalah sesuatu yang seharusnya dan menjadi bagian dari rasa hormat kepada para pendahulu. Tetapi yang lebih penting adalah melanjutkan sejarah dengan pahatan-pahatan sejarah baru yang lebih baik dan mengesankan. Para Santri harus menjadi sosok historis yang mau dan mampu menjadi aktor perputaran kemajuan Islam, guna melanjutkan etape-etape perjalanan Islam yang telah dirintis oleh para Nabi dan Sahabat-sahabatnya. Rintisan sejarah, tumpahan keringat, darah dan air mata pada pendahulu musti dilanjutkan dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab. Bagaimana mampu menjadi sosok historis itu? Tentu dengan membekali diri secara cukup untuk mampu tampil sebagai sosok Santri Islam masa kini. Santri harus punya komitmen yang konsisten kepada rakyat, bangsa, dan agama. Komitmen itu dilandasi oleh idealisme, cita-cita, dan militansi untuk menjadi anak-anak Islam yang terbaik dan berfaedah bagi kemajuan bangsa, Agama dan kesejahteraan rakyat. Para Santri adalah generasi yang tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi memikirkan dan memerankan tanggung jawab sebagai anak-anak rakyat dan putra-putra bangsa yang sejati. Peran dan tanggung jawab sosialnya tampak nyata dan dirasakan orang banyak. Tantangan dunia baru yang penuh dengan kompetisi hanya bisa dijawab dengan kompetensi: kemampuan dan kesanggupan untuk mendapatkan peran berdasarkan prestasi dan karya nyata. Bukan bersandar dan bergantung kepada para senior dan orang tua. Para Santri adalah generasi baru yang mampu menghadapi persaingan dengan bekal kemampuan pribadi yang cukup dan prestasi yang obyektif. Prestasi lebih menonjol ketimbang askripsi. Para Santri bukan saja perlu konsisten dengan orientasi dan berpandangan jauh ke depan, tetapi juga memegang teguh optimisme. Pesimisme adalah halangan mentalitas bagi kemajuan Islam, dan bahkan bisa menjadi beban. Dengan optimisme, sebagian masalah sudah terjawab. Sebaliknya, dengan pesimisme, peluang sebaik apapun tidak akan dapat didayagunakan. Para Santri adalah generasi baru yang menatap dan berjuang untuk masa depan dengan berani dan penuh optimisme. Tidak ada halangan dan tantangan yang tidak sanggup dijawab walau ideology silih berganti menggerus ajaran Islam. Para Santri bukan saja dituntut untuk berkomitmen kepada bangsa, berkompetensi tinggi, berpendirian relijius dan selalu dipandu dengan optimism, tetapi juga membutuhkan bangunan akhlak pribadi yang baik dan berketuhanan. Akhlak sosial dalam bentuk peduli dan bertanggung jawab kepada rakyat, bangsa dan agama juga perlu dibarengi dengan akhlak pribadi yang terpuji. Basis dari akhlak pribadi dan akhlak sosial itu adalah nilai-nilai relijius yang dipegang oleh rakyat Indonesia, serta bukan generasi yang sekuler. Sekulerisme harus dijauhkan dari kehidupan generasi muda bangsa. Para Santri adalah generasi baru yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. dan kemudian mendirikan nilai-nilai Ketuhanan itu dalam pribadinya dan kehidupan sehari-hari. Kalau santri santri dapat melaksanakan isi tersirat dalam pidato Nabi tersebut maka Eksistensi Agama Islam akan tetap tegak dan perkembangan ideology-ideologi sesat akan dapat diredam. Dari itu marilah kita bersaksi dalam bentuk manifestasi ajaran-ajarannya dengan tetap memegang semangat salafiyah demi mereduksi ideology sesat masa kini. Kita pasti bisa, bismillah mari kita mulai dari diri kita sebagai santri.
PP. Mambaul Ulum Bata-Bata Pamekasan
Nabi Muhammad sallAllahu ‘alayhi wasallam ketika haji Wada’, di padang Arafah yang terik, dalam keadaan sakit, masih menyempatkan diri berpidato. Di akhir pidatonya itu Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dengan dibalut sorban dan tubuh yang menggigil berkata, “Nanti di hari pembalasan, kalian akan ditanya oleh Allah apa yang telah aku, sebagai Nabi, perbuat pada kalian. Jika kalian ditanya nanti, apa jawaban kalian?” Para sahabat terdiam dan mulai banyak yang meneteskan air mata. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam melanjutkan, “Bukankah telah kujalani hari-hari bersama kalian dengan lapar, bukankah telah kutaruh beberapa batu diperutku karena menahan lapar bersama kalian, bukankah aku telah bersabar menghadapi kejahilan kalian, bukankah telah kusampaikan pada kalian wahyu dari Allah…..?” Untuk semua pertanyaan itu, para sahabat menjawab, “Benar ya Rasul!” Dari pidato yang disampaikan Nabi diatas, pada detik-detik akhir kehidupannya, sekilas mungkin itu hanya sebagai penyaksian para sahabat terhadap wahyu yang telah disampaikan oleh Nabi Muhammad SAW. Hal yang paling urgen dalam pidato tersebut adalah penyaksian kita terhadap risalah yang telah dia sampaikan kepada kita berupa ajaran Agama Islam. Dalam rangka penyaksian tersebut tentunya apa bentuk manifestasi kita sebagai wujud pembenaran terhadap ketuntasan risalahnya. Dalam memanifestasikan penyaksian itu kita harus tetap berpijakan pada sebuah konsep " Al-muhafadzah 'ala qodimissholeh wa al-akhdzu bi al-jadidil Aslah" yang tentunya kita sebagai santri harus punya ghiroh yang tinggi untuk memperjuangkan semangat salafiyah sebagai ujung tombak tegaknya sendi-sendi ajaran Islam di negeri ini ditengah maraknya ideologi-ideologi modern yang terselubung begitu apik. Dalam mengawal perkembangan ideologi-ideologi tersebut yang akan terus berkembang, maka Santri musti mempersiapkan diri dengan memperbanyak ilmu pengetahuan, memperkuat mental dan aqidah, fisik, serta menciptakan karakter kepribadian yang kuat agar dapat menjaga eksistensi Islam sebagai agama Rohmatan Lil'alamin sehingga kemurnian agama Islam tetap terjaga seperti yang difirmankan Allah " kami telah turunkan Alqur'an dan sungguh kami akan menjaganya". Pidato Nabi tersebut adalah penegasan bahwa eksistensi, kemampuan, kiprah, dan peran umat Islam (santri) sangat menentukan masa depan Islam. Wajah Islam masa depan sebagian tergambar pada potret para Santri masa kini. Eksistensi Islam masa depan sangat tergantung pada kekuatan kolektif pundak para Santri untuk memanggulnya. Itulah posisi strategis Santri dalam arus sejarah bangsa. Jelas bahwa eksistensi Santri tidak hadir pada ruang yang kosong. Kiprah dan peran Santri adalah produk interaksi dengan realitas dan tantangan faktual yang dihadapi masyarakatnya. Karena itu, Santri harus melawan jeratan mitos-mitos kebesaran yang terselubung dalam ideology modern, bahwa perannya selalu penting, tinggi dan berada di puncak-puncak kejadian penting sejarah perjalanan bangsa. Santri harus secara sadar keluar dari sosok mitologis-ideologi itu. Mengetahui sejarah perjuangan para Sahabat memang penting. Bangga kepada masa silam adalah sesuatu yang seharusnya dan menjadi bagian dari rasa hormat kepada para pendahulu. Tetapi yang lebih penting adalah melanjutkan sejarah dengan pahatan-pahatan sejarah baru yang lebih baik dan mengesankan. Para Santri harus menjadi sosok historis yang mau dan mampu menjadi aktor perputaran kemajuan Islam, guna melanjutkan etape-etape perjalanan Islam yang telah dirintis oleh para Nabi dan Sahabat-sahabatnya. Rintisan sejarah, tumpahan keringat, darah dan air mata pada pendahulu musti dilanjutkan dengan penuh kesungguhan dan tanggung jawab. Bagaimana mampu menjadi sosok historis itu? Tentu dengan membekali diri secara cukup untuk mampu tampil sebagai sosok Santri Islam masa kini. Santri harus punya komitmen yang konsisten kepada rakyat, bangsa, dan agama. Komitmen itu dilandasi oleh idealisme, cita-cita, dan militansi untuk menjadi anak-anak Islam yang terbaik dan berfaedah bagi kemajuan bangsa, Agama dan kesejahteraan rakyat. Para Santri adalah generasi yang tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi memikirkan dan memerankan tanggung jawab sebagai anak-anak rakyat dan putra-putra bangsa yang sejati. Peran dan tanggung jawab sosialnya tampak nyata dan dirasakan orang banyak. Tantangan dunia baru yang penuh dengan kompetisi hanya bisa dijawab dengan kompetensi: kemampuan dan kesanggupan untuk mendapatkan peran berdasarkan prestasi dan karya nyata. Bukan bersandar dan bergantung kepada para senior dan orang tua. Para Santri adalah generasi baru yang mampu menghadapi persaingan dengan bekal kemampuan pribadi yang cukup dan prestasi yang obyektif. Prestasi lebih menonjol ketimbang askripsi. Para Santri bukan saja perlu konsisten dengan orientasi dan berpandangan jauh ke depan, tetapi juga memegang teguh optimisme. Pesimisme adalah halangan mentalitas bagi kemajuan Islam, dan bahkan bisa menjadi beban. Dengan optimisme, sebagian masalah sudah terjawab. Sebaliknya, dengan pesimisme, peluang sebaik apapun tidak akan dapat didayagunakan. Para Santri adalah generasi baru yang menatap dan berjuang untuk masa depan dengan berani dan penuh optimisme. Tidak ada halangan dan tantangan yang tidak sanggup dijawab walau ideology silih berganti menggerus ajaran Islam. Para Santri bukan saja dituntut untuk berkomitmen kepada bangsa, berkompetensi tinggi, berpendirian relijius dan selalu dipandu dengan optimism, tetapi juga membutuhkan bangunan akhlak pribadi yang baik dan berketuhanan. Akhlak sosial dalam bentuk peduli dan bertanggung jawab kepada rakyat, bangsa dan agama juga perlu dibarengi dengan akhlak pribadi yang terpuji. Basis dari akhlak pribadi dan akhlak sosial itu adalah nilai-nilai relijius yang dipegang oleh rakyat Indonesia, serta bukan generasi yang sekuler. Sekulerisme harus dijauhkan dari kehidupan generasi muda bangsa. Para Santri adalah generasi baru yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. dan kemudian mendirikan nilai-nilai Ketuhanan itu dalam pribadinya dan kehidupan sehari-hari. Kalau santri santri dapat melaksanakan isi tersirat dalam pidato Nabi tersebut maka Eksistensi Agama Islam akan tetap tegak dan perkembangan ideology-ideologi sesat akan dapat diredam. Dari itu marilah kita bersaksi dalam bentuk manifestasi ajaran-ajarannya dengan tetap memegang semangat salafiyah demi mereduksi ideology sesat masa kini. Kita pasti bisa, bismillah mari kita mulai dari diri kita sebagai santri.