Teks Pidato Bahasa Indonesia Filosofi Santri
Oleh : Moh. Hafidurrahman
Santri, sebuah panggilan yang akrab bagi orang yang belajar dalam dunia Pesantren yang identik dengan budaya pakaiannya, kopyah, sarung, dan koko bagi santriwan dan jilbab bagi santriwati yang trendi bagi kalangan santri itu sendiri. Pakaian-pakaian yang menjadi trend dalam pesantren ini menjadi ciri khas tersendiri dan seakan menjadi corak budaya yang kemudian menjadi barometer keilmuan dan keislaman mereka, padahal tidaklah demikian karena tolak ukur keislaman yang sebenarnya tetap bertumpu pada kekuatan iman mereka. sehingga mereka yang menyandang nama ini harus memegang teguh nilai-nilai lokalitas budaya yang Islami agar tidak menjadi momok dan paradigma yang negative dalam masyarakat sosial.
Kalau dikilas balik dari mana awal mula panggilan santri yang menjadi gelar bagi mereka yang belajar dalam dunia pesantren, maka akan ditemukan (discovery) sebuah makna filosofi yang mempunyai nilai etika dan estetika budaya yang sangat tinggi (highly meaningful). Menurut Idris Saldi, Violist international bahwa kata Santri diambil dari bahasa India dari kata Shastri, adalah panggilan bagi orang yang belajar kitab suci Hindu, tapi menurut Abd. Hadi WM. dan Nurkholis Majid kata santri berasal dari bahasa sangsakerta juga dari turunan kata Shastri yaitu panggilan bagi orang yang belajar kitab suci dan tulisan indah.
Dari asal kata (root word) Shastri ini yang kemudian diadopsi dan diadaptasi dalam bahasa kita menjadi sebutan santri. Hal ini menjadi sebuah budaya dan punya nilai etika dan estetika tersendiri dalam ranah social bangsa ini. Serapan kata seperti ini kerap kali kita jumpai dalam bahasa Madura, seperti bahasa Indonesia siapa menjadi sapah, dan dari bahasa Indonesia kota menjadi kottah. Dari sini ada nilai filosofi yang dapat ditangkap bahwa santri adalah orang yang suci hatinya sesuci kitab yang dipelajari dan orang yang memperindah dirinya dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan dan perilaku yang baik (good behavour) seindah tulisan yang ditulisnya. Dengan kata lain orang yang sudah disebut santri memikul beban tanggung jawab prestise (prestige responsible) kesantrian yang harus menjaga hatinya dan fikirannya dari negative thinking yang mengarah pada fitnah dan adu domba, serta menjaga behaviournya dari perilaku yang melanggar norma-norma budaya dan Agama.
Dalam skala sosio-kultural, Madura punya dua dimensi budaya yang sekarang mulai pupus secara gradual karena mulai didominasi oleh budaya barat (western culture) lewat tranformasi berbagi macam media yang sulit dibendung,
Yang pertama adalah dalam dimensi dunia orang Madura punya istilah asapok angin abental ombek (red: berselimut angin berbantal ombak). Yang kedua dalam dimensi ukhrowi yaitu abental Syahadah asapok Iman apajung Allah (red: berbantal Syahadah berselimut Iman dan berpayung Allah). Dalam artian etika dan estetika budaya Madura masih bertumpu pada dua aspek yang menjadi prinsip kehidupan mereka, dalam aspek keduniaan mereka memegang prinsip mitos kerja yang pantang menyerah dan tawakkal melawan deburan angin dan ombak dengan semboyan “sapah atanih bekal atanak sapah adegeng bekal adeging” (red : siapa bertani bakal menanak siapa berdagang bakal berdaging), sedangkan dalam aspek ukhrowi mereka memegang prinsip tasawwuf, yang pada puncaknya akan merasakan nikmatnya tasawwuf yaitu ma’rifat atau mahabbah kepada Allah.
Dengan demikian nilai etika dan estetika budaya Madura tidak jauh berbeda dari nilai-nilai filosofi dan falsafah kehidupan santri. Sebagaimana budaya Madura, santri juga punya dua dimensi falsafah kehidupan baik dalam dimensi dunia (universe) dalam dimensi akhirat (paradise). Dalam dimensi akhirat santri sangat ekstrim dengan budaya salafiyah yang memiliki basis keagamaan dan rohaniyah yang kuat. Sedangkan dalam dimensi dunia santri mulai banyak mempelajari berbagai disiplin ilmu modern seperti penguasaan bahasa asing (foreign language), teknologi, informasi dan komunikasi dalam dunia maya, dalam rangka (in the frame) menyongsong era global dan modernitas yang penuh dengan problematika kehidupan yang semakin kompleks.
Oleh karenanya, ini bukan hanya sebuah tuntutan tapi sebuah keniscayaaan bagi para santri yang merupakan calon stakeholder harapan bangsa bagaimana mereka bukan hanya berjibaku dalam dunia salafiyah saja, tapi juga berkolaborasi dengan ilmu-ilmu modern untuk menjawab tantangan zaman sebagai manifestasi memajukan bangsa dalam skala makro (macro-developing country) atau paling tidak dalam skala mikro saja para santri punya peran penting (important role) dalam membangun pulau yang sebentar lagi akan menjadi pulau kapitalis ini. Sehingga kalau santri dapat membangun dua dimensi kehidupan tersebut, maka paradigma negative yang berkembang di mayarakat (ummatic paradigm) bahwa santri adalah orang yang ortodok, kolot, fanatik dan lain sebagainya, akan berubah menjadi paradigma positif yang bukan hanya sekedar isapan jempol belaka, tapi sebuah realitas yang telah dikonstruksi oleh santri yang telah memahami makna filosofi dirinya dan nilai etika dan estetika budaya itu sendiri.
Nama : Moh. Hafidurrahman
Santri PP. Mambaul Ulum Bata-Bata
Alamat : Kantor BBEC Mambaul Ulum Bata-Bata Panaan Palengaan
PO. BOX. 12 Pamekasan 69301
Email : hafidzbarizy@yahoo.com
No. Hp. 087850589800